Oleh : Muh. Apsing
Selama ini, banyak dari kita masih tertidur belum melek akan agama itu sendiri. Tak hanya itu, bahkan di sekeliling kita selalu menjustifikasi bahwa “religion just islam”. Jadi, lingkup pemikiran kita tentang agama hanya sebatas mempelajari agama kita sendiri dan lupa bahwa masih ada saudara-saudara kita yang hanya memiliki keyakinan berbeda seolah-olah diacuhkan dan tak dianggap bahkan parahnya lagi sampai dia disebut sebagai seseorang yang dapat menimbulkan permasalahan/pertentangan dalam dinamika hidup sedangkan Indonesia dikenal sebagai kiblat toleransi?
Kita butuh mengartikan agama secara lebih universal tak sebatas membaca satu buku kemudian menyimpulkan, perlu disadari bahwa masih banyak referensi buku lain yang bisa kita pelajari bukan untuk berpaling keyakinan namun menguatkan argumentasi bahwa, inilah kita wajah Indonesia dengan rangkulan toleransi, di sisi lain mengajarkan kita untuk tidak seperti tong kosong nyaring bunyinya artinya hanya pandai mengkritisi sebuah agama namun kapasitas dalam mengkritisi tak cukup, mindset itu perlu diubah bahwa bagaimana agama dapat menjadikan pola kehidupan kita menjadi lebih sejahtera, tentram dan damai tanpa perlu mempermasalahkan tentang keyakinan karena setiap orang wajar punya keyakinan yang berbeda, namun yang tidak wajar ialah orang yang mempemasalahkan keyakinan tersebut.
PERWAJAHAN AGAMA
Agama jika dilihat secara umum tentunya mengajarkan tentang nilai-nilai dari sebuah kebaikan yang sifatnya kaffah. Habib Ali al-Jufri pernah menulis sebuah buku berjudul al-Insaniyyah qabl at-Tadayyun (Kemanusiaan sebelum keberagaman). Pada intinya, mengingatkan bahwa agama akan sejalan dengan sifat fundamental dari kemanusiaan itu sendiri. Namun bisa kita lihat perwajahan agama sekarang seperti apa? Banyak sekali dari kita menabrak atau bahkan menggilas sampai tak berbelaskasih sebuah nurani kemanusiaan yang sangat diangungkan dalam sebuah agama atau bahkan tak jarang orang-orang memakai jargon-jargon jika terdapat tindak kriminalitas menyebutkan “Atas Sebuah Agama” untuk apa? Untuk membenarkan segala hukum atau legitimasi yang pondasinya sama sekali tidak memiliki dasar atau pedoman dalam beragama. Dan tentu perlu diperhatikan bahwa jika terdapat hal seperti ini, maka jangan sekali-kali menyalahkan apa agama yang mereka anut tapi kita perlu memperbaiki dari segi karakter dan kualitas dari orang yang membuat kriminaliatas kemudian mengangkat atas dasar agama di dalamnya.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, hirup pikuk di negeri ini mulai memudar dan meninggalkan banyak sekali monopoli kekuasaan sampai monopoli keagamaan yang di bawa dari barat itu sendiri. Perjuangan dalam mengusir sekutu dari Indonesia itu dilandasi dengan sebuah nilai kemanusiaan dan keimanan antar sesama agama ataupun lintas agama, bersatu dalam merebut kekuasaan Indonesia kembali. Namun jika penulis menilik dari zaman sekarang, sebenarnya kita masih belum terlepas dari sebuah jajahan juga bukan kepada sifatnya jasadiyah tapi sifatnya yang rohaniah, yang kemudian banyak sekali aspek-aspek pemikiran bahkan sampai kepada sistem peremintahan yang diatur dalam tatanan politik, dikonsep sedemikian rupa hanya untuk memenjarakan agama yang tidak famous bahkan kepercayaan pun seolah-olah hilang tanpa jejak karena keterbelakangan kepercayaan yang dianutnya bisa saja dinilai sangat kuno dan tidak cocok untuk diimplementasikan dalam tatanan pemerintahan.
Hal ini membuat, legitimasi seperti jarum tumpul ke atas namun runcing ke bawah, bagaimana tidak? Orang yang menentang pemerintahan bisa saja disebut kaum Bughat apalagi keberadaan agama yang tidak diakui adanya, sungguh sangat miris rasanya jika iman, pengikut dan nilai kebaikan dari sebuah agama atau dari konsep kepercayaan seperti dilirik saja bahkan sampai diwajibkan untuk punya identitas yakni KTP, yang di mana di dalamnya terdapat kolom agama, mirisnya jga agama selain 6 yang diakui di Indonesia ternyata perlu juga membuat KTP yang bukan agama aslinya mereka anut didalamnya, terlebih dalam sistem adminitrasi, ataupun keleluasaan dalam menjalankan agama, untuk itu ada 2 hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mengurai monopoli rohaniyah pada sebuah sistem keagamaan yang ada di Indonesia, di antaranya : 1. Menghilangkan kolom agama yang ada di kolom KTP dan 2. Memberikan kelonggaran kepada agama lain untuk mencantumkan agamanya di kolom KTP.
Perwajahan dari agama itu sendiri tak hanya mentok pada pembahasan monopoli rohaniyah tapi kasus tertinggi ialah kembali lagi kepada adanya sebuah ambisi namun memakai nama agama, katanya dengan beragama bisa memperekatkan jalinan sosial walaupun tidak saling mengenal namun saling mengakui bahwa saudara seiman? Apakah begitu adanya? Jika mengutip dari perjalanan Syamsul Arif Galib sebagai salah satu dosen di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar pada saat mengunjungi Los Angeles pada akhir tahun 2010, pada intinya seseorang yang hanya seiman bisa menjadi rekat karena adanya kesamaan agama.
Perintah berbuat baik, penulis merasa itu sudah ajuran dalam beragama bagaimana kita menjunjung nilai-nilai kebaikan yang sifatnya luas bahkan dalam agama manapun. Namun kembali lagi sistem politiklah yang membuat kita terpecah belah, seperti pada zaman khulafurrasyidin yang keempat Ali bin Abi Thalib, bahwa adanya sistem politik sehingga mempengaruhi tatanan pemerintahan dan dengan begitu muncullah berbagai aliran mulai dari khawarij, murjiah sampai syiah dan disitulah awal mula perkembangan teologi dalam islam. Nah, itu salah satu kisah bagaimana sistem politik dapat memecah belah sebuah kesatuan, walaupun kita sebagai Ummatan Washatan atau umat yang satu.
Wallahu A’lam