Kita saat ini sedang meraba-raba mencari seberkas cahaya dibalik gua yang memenjarakan tuannya. Sejak bapak pembanguan lengser dari singgasana atas perjuangaan rakyat telah memberikan sedikit oksigen bagi penghuni ibu pertiwi kala itu. Bapak Proklamator, Soeharto, B.J Habibie, Kyai Abdurrahman Wahid, Ibu Megawati, Sosilo Bambang Yudiono dan Presiden Jokowi yang sedang menikmati masa mewakafkan diri. Nama-nama di atas adalah Nahkoda Indonesia dengan rentetan peristiwa yang membumbuhi paradigma masyarakat hingga saat ini.
Penulis memahami setiap periode pemerintahan menorehkan kegemilagan tersendiri, tapi setiap masapun merekam jejak tugu peringatan bagi kita semua tentang zaman yang bisa mengorbankan siapa saja. Tukul, Marzina dan ribuan anonim adalah potret manusia yang dihangusbumikan oleh rezim yang lalim. Oksigen yang diharapkan dapat lahir dari pemimpin baru nyatanya hanya menyumbangkan racun dalam sistem kekebalan tubuh dalam pemerintahan. Lantas apakah keamanan hanyalah khayalan belaka atau kedamaian hanyalah sebuah candu? Sedangkan kita sepertinya sudah lupa bagaimana cara berdamai.
Jika penulis ditanya apa itu damai? Bagi saya damai adalah ketika kesejahteraan meliputi semua kelas. Bocah-bocah tersenyum karena akses pendidkan yang mumpuni, anak-anak bangsa tidak lagi takut bermimpi karena mahalnya pendidikan yang mencekik ditengah krisis multidemensi. Damai bagi penulis ketika tolerasi atas keragaman tegak dan kokoh, saat kebebasan berekspresi dijunjung tinggi dan tidak ada lagi korban yang dikambinghitamkan dalam setiap perkara, begitupula sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat musnah di muka bumi.
Penulis menyadari bukan suatu perkara yang mudah untuk merasakan damai dalam representatif penulis. Butuh banyak pemikir dan tenaga yang berani melayangkan diri dijalan ini. Menyelesaikan konflik dalam lingkup dan tingkat apa saja, karena perdamaian dapat terwujud ketika kita berhasil memecahkan kekerasan yang berlangsung secara struktural dan kultural.
Menurut John Galtung perdamaian akan terwujud jika ada upaya untuk menyelesaikan konflik. Teori Galtung menekankan arti perdamian memiliki pemaknaan yang berbeda dari dua perspektif yang berbeda yaitu perdamaian negative (negative peace) adalah titik kekerasan dalam semua jenis dan perdamaian positif (positive peace) dimana kekerasan yang keberadaanya disebabkan dan berlangsung secara struktural dan kultural. Kedamaian akan terwujud jika tercipta keadilan sosial atau ketika kekerasan struktural dan kultural dapat ditiadakan.
Kekerasan kultural dan struktural mengakar saat sistem yang dicanangkan oleh pemerintah tidak berorientasi pada kesehteraan rakyat, ketika rakyat secara terang-terangan dieksploitasi oleh sebuah sistem nampaknya menjadi sesuatu yang lumrah dalam kehidupan sosial. Iroisnya sistem tersebut telah berhasil menyuntik sebuah paham yang membuat rakyat merasa nyaman seolah keadaan yang terjadi benar-benar mutlak desain dari tuhan dan eksistensinya harus diterima dengan lapang dada. Pemikiran seperti ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita untuk ikut andil dalam menyumbangkan solusi terhadap problem yang terus mengintai.
Hal yang tak kalah meyedihkan ketika dunia pendidikan berpartisipasi dalam menumpulkan pemikiran peserta didik atau mahasiswa. Mereka yang menjadi agen perubahan nyatanya hanya disadari oleh segelintir orang. Meskipun tidak semua yang bersedia terjun kelapangan karena berbagai pertimbangan yang tidak selalu dapat disalahkan. Kita adalah korban dari sistem tersebut, bahkan tak sedikit tenaga pengajar yang harus membatasi daya kritiknya terhadap regulasi yang telah mengakar.
Pendidikan seharusnya hadir untuk memanusiakan manusia dan mengasah daya kritis. Jika kita menengok kembali kewajiban negara terhadap rakyat yaitu mengayomi, melindungi dan menjamin kesejahteraan sosial serta pendidikan. Secara khusus negara memiliki kewajiban memenuhi pendidikan anak-anak bangsa yang akan mejadi tongak kokohnya bangsa di masa depan.
Senada dengan UU RI No 20 Tahun 2003 pasal 5 ayat 1,3 dan 5 bahwa sejatinya setiap warga negara mempunyai hak yang sama, negara pun melindungi masyarakat di daerah terpencil atau terbelakang. Masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan yang khusus. Setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Ini sejalan dengan pemikiran bapak pendidikan dunia yaitu Paulo Freire yang mengatakan jika pendidikan lahir untuk memanusiakan bukan sebagai alat eksloitasi yang hanya memenuhi pasar industri . Selain itu Tan Malaka juga menyatakan jika tujuan pendidkan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkokoh kemauan serta memperhalus perasaan.
Belum lagi selama pandemi rupa pendidikan di Indonesia tidak kalah menakutkan. Meskipun di sini kita tidak bisa menyalahkan pemeritah seratus persen atas dinamika yang terjadi, tetapi setidaknya pemeritah dapat bertanggungjawab atas kenyamanan dan mengatasi ketakutan selama berlangsungnya proses belajar mengajar di masa pandemi.
Konsep damai dapat terwujud jika pendidikan sudah sejalan dengan amanat negara. Wajib kiranya demokratisasi kampus tidak lagi dikungkung agar membuka peluang mencabut sistem kekerasan struktural dan kultural yang sudah mengakar, sehingga kedamaian dapat terwujud melalui terciptanya keadilan sosial seperti yang dikatakan oleh Martin Luther King “Perdamaian yang sesungguhnya bukan semata-mata tidak ada ketegangan melainkan adanya keadilan”.
Penulis: Nita Amriani