Mitologi mengandung dua kata, yakni mitos dan logos. Mitos merupakan suatu kepercayaan yang tidak harus melibatkan fakta ilmiah. Sedangkan kata logos bermakna konsep, isi pikiran, atau ilmu pengetahuan. Sehingga mitologi dapat diartikan sebagai kajian tentang mitos, yang melibatkan kepercayaan terhadap suatu hal termasuk agama.
Agama merupakan suatu skema mitologi, yang kehadirannya dipercayai oleh masyarakat sebagai suatu hal yang dapat mendekatkan kepada spritualitas. Kisah-kisah yang ada di dalamnya menjadi pembelajaran untuk dapat lebih memahami substansi keadaan, peristiwa yang telah terjadi dan dapat menjadi pedoman di masa depan.
Pada masa dulu, aspek kehidupan selalu melibatkan spritualitas untuk memahami dan melakukan suatu hal. Sehingga nampaknya kita sering mendengar banyak sekali ritual-ritual, baik itu untuk mengharapkan keberkahan ataupun hanya sekedar penghormatan terhadap arwah, leluhur, maupun benda yang dikeramatkan. Itulah spritualisme.
Tradisi penyembahan kepada Tuhan itu hanya pada Islam. Umat Islam, melakukan ibadah sholat ke masjid adalah bentuk menyembah langsung kepada Tuhan. Umat lain, jika pergi ke gereja, biara, atau kuil yang mereka lakukan adalah berdoa bukan menyembah. Orang-orang terdahulu sendiri sebenarnya meyakini adanya Tuhan, tapi penyembahan tidak diajarkan, sehingga yang ada hanyalah ritual menghormati leluhur.
Keramat itu sendiri berasal dari Bahasa Arab, yaitu ‘Karamah’ yang artinya mulia. Sesuatu itu dikeramatkan karena dianggap mempunyai nilai lebih, atau mulia. Namun kini semua hal termasuk tempat yang dikeramatkan pasti menimbulkan ketakutan. Kalau kita berpikir jeli, hal Itu dapat diarahkan sebagai strategi untuk menimbulkan rasa. Seperti halnya dasar iman adalah takut.
Supaya manusia tidak sewenang-wenang pada alam, rasa takut itu penting untuk menjaga mekanisme keseimbangan alam. Jika rasa takut hilang, maka akan sulit untuk membangun kehidupan. Apalagi dengan sifat manusia yang dijuluki pengrusak.
Sekarang, umat manusia mencoba untuk lebih rasional dalam menyikapi sesuatu. Segala aspek kehidupan ingin disentuhnya dengan menggunakan akal. Sehingga ajaran agama yang menurutnya tidak masuk akal, ditinggalkan. Itulah rasionalisme. Hanya menerima hal-hal logis. Sedang logos sendiri harus betul-betul dicari sampai menemukan evidensi terkait hal itu.
Menggunakan rasional memang penting, agar tidak asal dalam melakukan sesuatu. Namun jika terlalu bertumpu pada hal itu bisa menimbulkan kekacauan. Di negara maju yang serba rasionalitas misalnya Korea Selatan. Dari data yang diambil dari Word Health Organisation (WHO), Korea Selatan menjadi negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia yang disebabkan oleh depresi. Hal itu disebabkan karena segala sesuatu ingin diatasi dengan pikiran.
Lalu kalau di Indonesia dominan ke Rasional atau Spritual? Nyatanya, jika kita amati, Indonesia tidak jelas sekarang arahnya ke mana. Karena itu, disentil sedikit saja akan ada kericuhan dimana-mana. Faktornya bisa saja dari hal kecil yang justru dibesar-besarkan. Ambil contoh kasus toa masjid. Kenapa itu diributkan? Karena isi otak kita belum jelas arahnya kemana, jadinya gampang terprovokasi.
Tidak ada mau rasa ingin tahu dulu terhadap suatu hal menjadikan kita stagnan. Apalagi sampai meminjam pemikiran orang lain untuk melihat diri kita, itu yang menimbulkan kesalahan.
Orang-orang sekarang mengatakan tidak percaya kalau di pohon-pohon ada penunggunya. Tapi nyatanya masih terbesit rasa takut yang menandakan percaya akan hal itu. Secara tidak sadar, orang-orang mengaminkan mitos.
Perlu itu menyeimbangkan antara rasional dan spritual. Hal itu dapat kita siasati dengan menjelaskan hal-hal rasional dengan menggunakan pendekatan spiritual dan begitu pun sebaliknya.