Suatu ketika dikisahkan di sudut dekat pintu kota Madinah tinggalah seorang pengemis buta yang berkeyakinan Yahudi. Setiap orang yang mendekati pengemis tersebut, Ia selalu berpesan agar tidak mendekati Muhammad yang gila, pembohong dan tukang sihir. Rasulullah yang mendengar cacian tersebut tidak sedikitpun merasa tersinggung apalagi marah, malah mengunyahkan makananan untuk Si pengemis yang menjadi rutinitas nabi sampai menjelang ajalnya. Ketika Rasulullah wafat, Abu Bakar mengantikan tugas Nabi. Betapa kagetnya Si Pengemis tersebut ketika didapati yang mengunyahkan makanan adalah orang yang berbeda. Abu Bakar kemudian menceritakan jika selama ini yang Ia caci adalah sosok yang memberinya makan tiap hari. Bercucurlah air matanya lantaran menyesal telah menghardik Rasulullah yang mulia selama ini. Tanpa ragu sedikitpun Ia menguncapkan kalimat syahadat.
Ini tentu bukan kisah satu-satunya bagaimana Nabi menunjukkan akhlak yang sangat mulia terhadap orang-orang yang membencinya. Dalam kisah lain diceritakan gerombolan orang-orang Yahudi mengunjungi Nabi dan mengucapkan “Kecelakaan bagimu Muhammad”. Aisyah Sang Istri yang mendengar penghinaan tersebut tidak menerima perlakuan itu. Melihat reaksi Sang istri, Rasulullah menenangkannya “Santai saja Aisyah sesungguhnya Allah menyukai kasih sayang dalam setiap hal”. Aisyah yang kembali mengingatkan betapa tidak pantas penghinaan tersebut tertuju pada Nabi. Rasulullah hanya tersenyum sembari berkata “Ampuni kaumku Ya Allah! Sesungguhnya mereka (menghina dan menyakitiku) karena tidak tau”. Rasulullah kemudian melarang orang-orang tersayangnya untuk membalas melebihi dari apa yang dilakukan oleh orang yang menghinanya.
Perilaku Nabi di atas menjadi contoh nyata betapa Rasulullah mencintai dan menghargai seseorang, bahkan yang tidak memiliki keyakinan yang sama dengannya. Tidak pernah terbersit rasa benci sedikitpun apalagi melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang menyakitinya. Nabi malah mendoakan berupa ampuanan atas mereka karena ketidaktahuan terhadap kebenaran yang di bawanya. Betapa damai dan elok perangkai akhlakmu Ya Rasulullah.
Sebagai umat Rasulullah, sudah semestinya kita berusaha mencontohi akhlaknya. Saling mencintai dan mendoakan dalam kebaikan merupakan keharusan yang perlu kita latih. Apalagi ditengah pandemi saat ini, kita butuh kekuatan yang ekstra agar nasionalisme tetap terpatri dalam diri. Meskipun tidak bisa dinafikkan ego dan sikap ingin dilayani serta dihormati melanda umat kita dewasa ini. Tak tanggung-tanggung atas nama agama sebagian rela mencaci maki sesama saudaranya sendiri. Aksi seperti ini seringkali dipertontonkan oleh figur yang menjadi contoh masyarakat.
Perbedaan pandangan dalam segala lini bagi penulis bukanlah suatu alasan pembenaran untuk menghardik, mencela, membenci apalagi berujung pada pemutusan silaturahmi. Kadangkala memang kita diperhadapkan sebuah keadaan akan keragaman pendapat atau keyakinan yang selama ini diadopsi. Memang bukan perkara mudah menerima sesuatu yang berseberangan dengan yang konsumsi selama ini. Tapi yang perlu kita pahamkan dalam diri bahwasanya manusia berasal dari asal yang sama meskipun proses mengarungi kehidupan ditempuh dengan cara yang berbeda.
Perbuatan mencela atau mencaci maki tidak akan menyelesaikan sebuah permasalahan justru malah menyulut munculnya masalah baru yang akan berimpilikasi pada timbulnya rasa kebencian. Kebencian yang tidak terkontrol, akan menghilangkan logika dalam diri. Saat logika tidak beroperasi secara normal maka upaya saling menghargai dengan sendirinya akan terkikis. Orang lain yang berbeda pandangan akan selalu dianggap sebagai pihak yang salah.
Fenomena diatas tentu sangat disayangkan, apalagi jika kita figure yang memiliki banyak pengikut. Dimana setiap dampak negatif dari perilaku tersebut juga berimbas pada pengikutnya. Ini tentu bisa dikategorikan sebagai perilaku penyimpangan atau biasa di kenal dengan penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial sendiri jika di lihat dari bentuk penyimpanganya dibedakan menjadi dua yaitu penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder. Dalam pandangan penulis kasus diatas dapat di kategorikann sebagai penyimpangan sekunder dimana perilaku yang menyimpang dan nyata sering kali terjadi dan menganggu orang lain.
Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia, Anwar Abbas megingatkan agar masyarakat menjauhi perbuatan saling mencela (Tempo, 14 November 2020). Selain itu, kita perlu menginggat bahwa Indonesia adalah bangsa yang beragama dan berbudaya. Oleh karenanya jati diri sebagai bangsa dapat terlihat dengan sikap saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran agama dan budaya.
Keadaan seperti ini sebisa mungkin dihindari apalagi di tengah pandemi. Kita butuh kerja sama untuk melawan krisis kesehatan dan ekonomi yang mengintai negeri kita. Jangan sampai menciptakan kegaduhan yang memicu aksi masyarakat menjadi tidak terkontrol. Mari bahu membahu bekerja sama menciptakan kondisi yang kondusif sebagai bentuk support agar kuat ditengah pandemi. Tidak mudah terprovokasi dan saling memaafkan satu sama lain.
Sebuah syair Jalaluddin Rumi dikisahkan seorang pengelana yang bertanya pada gurunya mengenai arti pemaafan. Sang Guru pun menjawab; “Pemaafan adalah wangi dari sekuntum bunga yang tetap dapat mengeluarkan baunya setelah diijak dan dihancurkan. Pemaafan adalah bentuk dari penerimaan lainya, yang ditambahkan dengan keberserahan, keikhlasan dan kesabaran.” Kesabaran disini bukanlah bertahan secara pasif. Kesabaran artinya memandang jauh kedepan. Mempertimbangkan dampak pemaafan terhadap lingkungan sekitar.
Itulah sebabnya Rasulullah selalu memberikan tauladan yang sempurna dalam berinteraksi dengan kehidupan sosial. Ada kalanya roda kehidupan akan berputar tanpa harus mengikuti arus keinginan kita. Karena pada hakikatya kehidupan memang sarat oleh aral. Kita perlu belajar beradaptasi supaya tidak mudah terpancing oleh hal-hal yang remeh temeh. Mengajak dan tetap merangkul orang-orang yang dalam pandangan kita mungkin melenceng dari syariat atau norma-norman yang berlaku di masyarakat. Sebagaimana kata Cak Nun “Kalau Menurutmu aku ini orang yang tersesat, mengapa tak kau peluk dan sayangi aku, kemudian kau tunjukkan kebenaran itu”.
Wallahu A’lam Bishawab
Penulis: Nita Amriani