(Oleh Hasnia)
Ada satu kesalahan yang acap kali kita lakukan, terlalu takut untuk meluruskan apa yang salah karena bukan tanpa alasan melainkan kita terlalu takut untuk dibenci oleh orang lain. Bukankah kita hidup sebagai makhluk sosial? Saling mengingatkan antar satu dan yang lainnya ? saling meluruskan jika ada yang bengkok yang langkahnya tak lagi sesuai dengan koridor jalan yang lurus?
Hidup ini terlalu egois jika kita hanya mementingkan dan memikirkan diri sendiri tanpa menengok kehidupan orang lain. Karena sesungguhnya kita diciptakan untuk berjalan beriringan dengan damai, bukan saling mengungguli dan saling menjudge satu sama lain.
Manusia merupakan makhluk sosial yang tak bisa hidup tanpa uluran tangan orang lain. Jika ada yang berargumen bahwa “saya bisa hidup tanpa uluran tangan orang lain”, penulis berfikir bahwa pemilik argumen tersebut terlalu congkak dan angkuh yang tak mau menyadari betapa pentingnya orang lain dalam hidupnya.
Dalam mengarungi hidup di dunia yg fana ini, terdapat dua hubungan yang harus kita jaga. Hubungan vertikal (Hablun minAllah) dan hubungan horizontal (Hablun minannas) . Hubungan vertikal ini menyangkut hubungan kita dengan sang Pencipta, sang pemberi rasa cinta dan kasih sayang untuk tiap-tiap ummatnya.
Kita merupakan makhluk beragama (islam) yang percaya bahwa kehidupan ini tidak tercipta dengan sendirinya, melainkan ada daya (dzat) yang mengatur segala bentuk kehidupan baik di bumi ini maupun di dimensi lain. Karena kita percaya bahwa asal muasal kehidupan di dunia ini terdapat dzat yang mengatur, maka sudah sepantasnya lah kita memperbaiki hubungan kita dengan dzat pencipta tersebut. Karena tempat kembali kita selepas kehidupan di dunia yang fana ini adalah kepangkuan dzat pencipta (Allah). Allah lah yg menciptakan maka Allah pulalah peraduan terakhir kita.
Beda halnya dengan hubungan horizontal yang orientasinya membahas terkait relasi sosial, bagaimana interaksi kita antar sesama manusia baik itu interaksi bersama orang tua, guru, kawan sejagat atau lingkungan sekitar.
Ke dua hubungan ini sifatnya harus balance (seimbang). Layaknya sebuah pesawat, kedua sayapnya harus balance, jika ada di antara sayapnya yang berat sebelah maka sudah pasti pesawat itu bermasalah, tak akan bisa bersua dan melepas rindu pada gelembung padat putih di angkasa. Begitupun dengan manusia, jika ada di antara hubungan vertikal dan horizontal yang rusak dan terjadi dis-equilibrium maka ia tak akan bisa berjalan mengarungi kehidupannya dalam koridor yang baik. Karena itulah ke dua hubungan ini harus kita jaga equilibriumnya agar kita bisa hidup dengan balance dan tak berat sebelah.
Kedua hubungan ini juga bisa menggambarkan potret kehidupan atau bisa kita sebut sebagai indikator penilaian kepribadian seseorang. Jika kedua hubungan ini sama-sama baik, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa orang tersebut adalah baik. Begitupun sebaliknya, jika salah satu maupun kedua hubungan ini rusak maka jelas orang tersebut kurang baik.
Ketika kedua hubungan tersebut sejalan, maka segala tindak tanduk seseorang akan bermuara pada kebaikan. Karena itu penulis mengatakan bahwa hubungan vertikal dan horizontal merupakan indikator baik atau kurang baiknya seseorang.
Menjaga hubungan antar sesama manusia (horizontal) memanglah penting, tapi bukan berarti ketika kita menyaksikan seseorang keluar dari koridor kebenaran yg kita lakukan hanyalah diam seribu bahasa, tak berani untuk menegur dan memberitahukan kebenaran yang sesungguhnya. Agama kita (islam) tak mengajarkan hal yang demikian, malah sebaliknya, agama menuntut kita untuk saling mengingatkan satu sama lain dalam kondisi apapun dan tak memandang strata sosial yang kita miliki. Setiap manusia tak terlepas dari salah, khilaf dan lupa karenanya dibutuhkan sosok alarm dalam hidup seseorang untuk selalu mengingatkan dan meluruskan apa yg salah, khilaf dan lupa.
Ada kalimat penting yang harus benar-benar bisa kita cerna dengan baik. Kalimat ini telah Allah “notariskan” di dalam Al-quran surah Al-Ashr.
“Demi Masa. Sungguh manusia berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebaikan serta saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati untuk kesabaran”. Dalam surah tersebut terekam jelas bagaimana islam menganjurkan kita untuk saling menasehati baik dalam hal kebenaran maupun kesabaran, jika kita tidak ingin disebut sebagai golongan yang merugi.
Penulis berharap dengan terbitnya tulisan ini, para pembaca dan juga tentunya penulis, bisa lebih berani untuk meluruskan sesuatu yang tak sejalan dengan koridor kebenaran dan jalan yang lurus.
Jangan terlalu acuh dan masa bodoh terhadap perbuatan orang-orang sekitar, jangan menjadi CCTV dan penonton yang teramat setia, gemahkan suara dan luruskanlah apa yang bengkok !!! Tapi sebelum menggemahkan suara ada satu hal yg penulis dan juga para pembaca yg harus dipahami terlebih dahulu yaitu cara (adab) menegur dengan baik dan sopan agar tak menyisakan rasa dendam dan kebencian pada objek kita.
Agama kita sendiri (islam) telah mengajarkan kita dari hal yang besar sampai hal yang terkecil. Setiap yang kita lakukan memiliki adab (tatacara), termasuk tatacara menegur antar sesama. Karena sesuatu yang sudah bengkok akan sulit untuk diluruskan kembali, jika ingin mencoba untuk meluruskan maka berhati-hatilah, jangan sampai kayu yg bengkok tersebut patah karena cara kita yg terlalu kasar dan gusar untuk meluruskan kayu tersebut. Bukannya kayu itu lurus kembali tapi malah retak bahkan patah karena kesalahan kita dalam meluruskan.
Hadirkanlah sosok Rasulullah dalam kehidupan kita. Di mana beliau senantiasa menyebarkan kebaikan, kebenaran serta meluruskan apa yang bengkok tanpa sedikitpun terbesit rasa takut untuk dibenci oleh orang lain. Selama kita masih tetap berada pada koridor yang baik menurut diri sendiri dan agama, maka tetaplah menapakkan kaki dan melaju serta jangan takut untuk dibenci.
Wallahu A’lam Bissawab