(Oleh Nita Amriani)
Seorang Sosiolog terkemuka Max Weber memandang agama sebagai pemicu semangat dan sumber inspirasi bagi manusia dalam menjalani kehidupan. Agama dapat membentuk citra seseorang terhadap dunia yang dapat membebaskan mereka dari penderitaan. Di bawah wajah agama yang damai, sejuk dan tentram nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi tempat berteduh (sacred canopy). Canopy dianologikan sebagai tempat berteduh dari hujan dan panas yang menyengat. Pesan-pesan suci (sacred) dan cinta layaknya obat bagi penderita kepanasan atau kehujanan yang dalam hal ini spiritual atau psikologi. Menurutnya agama menjadi solusi terhadap permasalahan sosial, spiritual dan psikologi.
Persoalan sosial, spiritual dan psikologi menjadi permasalahan yang serius sejak Coronavirus menyerang dan melilit seluruh aspek kehidupan. Bahkan jauh sebelum pandemi persoalan ini masih menjadi Pekerjaan Rumah yang belum menemukan titik terang. Situasi ini kemudian semakin parah ketika hampir seluruh aktivitas manusia dirombak sehingga menimbulkan kegagapan dalam proses adaptasinya. Ada yang mampu mengaklimatisasi diri dengan cepat namun tidak sedikit yang kewalahan dalam proses penyesuaian tersebut. Sebut saja proses pembelajaran daring, pembatasan kegiatan-kegiatan sosial bahkan juga berimbas pada ranah paling sakral yaitu pembatasan kegiatan di tempat Ibadah.
Begitu banyak tragedi yang menguji kesabaran, menguji sisi kemanusiaan dan nasionalisme terhadap bangsa. Fenomena ini menggambarkan jika tekanan mental yang dirasakan masih terbilang tinggi. Meskipun benar jika pemerintah menyediakan alternatif berupa bantuan materi kepada masyarakat, namun nyatanya bantuan tersebut belum tersalurkan secara merata. Justru kebijakan ini menimbulkan impresi yang serius jika ditilik dari aspek psikologi seseorang. Pandemi memaksa kita untuk membuka mata agar mampu beradaptasi dengan hal-hal baru termasuk dalam mempertahankan stabilitas ekonomi dan pendidikan. Depresi tidak dapat dihindarkan, bahkan tidak sedikit yang merasakan kebosanan hingga mengabaikan protokol kesehatan.
Banyaknya masyarakat yang abai terhadap protokol kesehatan tentu menjadi tantangan terbesar yang dihadapi pemerintah. Kredibilitas dan otentisitas berita tidak kalah berpengaruh terutama informasi hoax yang bebas diakses, belum lagi perdebatan eksistensi dari virus ini. Bahkan tidak sedikit pula yang menjadikan agama sebagai pembenaran dalam aktivitas masyarakat selama pandemi.
Misalnya saja penganut pandangan kaum fatalis yang mengamini konsep takdir yang sudah paten ditentukan oleh Tuhan kemudian mereka bertindak sesuka hati. Meskipun tidak dapat dielakkan peran agama selama pandemi begitu terpampang nyata terutama dalam meminimalisir penyebaran Covid-19. Usaha ini dapat kita lihat dari imbauan tokoh agama untuk melaksanakan ibadah di rumah. Majelis Ulama Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan berbagai ormas lainnya ikut serta mensosialisasikan masalah Covid-19. Bagi penulis ini adalah salah satu bentuk dukungan agama yang nilai-nilainya direfleksikan oleh tokoh agama dan masyarakat di masa Pandemi.
Peran Tokoh Agama dalam Merealisaskan Nilai-Nilai Agama di Masa Pandemi
Tokoh agama dianggap memiliki peran penting dalam memutus rantai penyebaran Covid-19. Pasalnya mereka memberi pengaruh besar dalam pembentukan tindakan sosial bahkan mampu menggeser tindakan masyarakat ke arah yang mereka inginkan. Dalam struktur masyarakat tertentu posisi tokoh agama dinobatkan sebagai pusat otoritas dan mempunyai kewenangan mutlak atas interpretasi ajaran-ajaran agama. Hubungan patron-klien yang dibangun ini akan menciptakan sebuah hubungan yang dibentuk atas dasar kepatuhan. Menurut Safya Aulia Achidsti dalam bukunya Kiai dan Pembangunan Institusional bahwasanya kepatuhan masyarakat akan serta merta tumbuh ketika seorang tokoh agama memiliki kemampuan berkomunikasi terutama dalam hal menjelaskan persoalan-persoalan rumit menjadi mudah dipahami.
Kemajuan teknologi sangat mendukung perluasan penyebaran nilai-nilai agama. Semenjak pandemi, ragam persoalan datang silih berganti. Di sinilah peran tokoh agama ikut andil untuk menyederhanakan hal-hal rumit tersebut. Apalagi teknologi selama pandemi menjadi substitusi untuk mendesain dunia baru yang tentu ini dimanfaatkan dengan baik oleh tokoh agama sebagai bagian terpenting dalam memperluas kesalehan aktif. Konsep kesalehan aktif menurut Asef Bayat dalam bukunya Making Islam Democratic dipahami sebagai kebebasan memilih secara mandiri kecederungan agama yang dimiliki. Konsep kesalehan aktif ini menjadi modal untuk menanamkan informasi dan perubahan tindakan sosial yang diinginkan.
Sangat diharapkan tokoh agama memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya mendahulukan kemaslahatan bersama dari pada kemaslahatan individu. Meluruskan kesalahan logika terkait pemahaman tentang agama, pentingnya pencegahan wabah dan penafsiran yang berbeda mengenai arti wabah itu sendiri. Masyarakat perlu memahami jika wabah ini belum berakhir dan perlu adanya ikhtiar, tidak abai dan bersikap tenang selama pandemi.
Jika menilik filosofis agama Hindu yang diterapkan dalam menghadapi Covid 19 sebagaimana yang di sampaikan oleh Ni Made Putri Ariyanti dalam sebuah webinar. Ni Made Putri menyatakan dalam menghadapi pandemi perlu menerapkan konsep Tri Hita Karana atau konsep menjaga keselarasan antara Sekala (konsep yang terlihat) dan Niskala (konsep yang tidak terlihat) yaitu menjaga hubungan baik antara manusia dengan tuhan, manusia terhadap lingkungan (vertikal) maupun hubungan manusia dengan manusia (horizontal). Disinilah agama berperan dan mengajarkan perlunya menjaga dan melindungi sesama.
Berikhtiar Selama Pandemi
Kasus wabah ini sebelumnya juga pernah terjadi pada masa silam, dimana terdapat beberapa catatan sejarah Islam dalam mengatasi penyebaran wabah. Seperti kisah Khalifah Umar bin Khattab ketika wabah terjadi di zamannya yang pada saat itu Umar berkunjung ke Damaskus dan memutuskan kembali ke Madinah karena tempat tersebut terserang wabah. Umar kemudian memilih menghindar dan berusaha mencari keselamatan. Selain itu kisah lain lahir dari Ibnu Sina seorang ilmuan muslim dan dokter pertama mendesain sebuah konsep untuk mengangkat sebuah wabah dengan menerapkan metode karantina (lockdown). Efektivitas dan keberhasilan karantina dapat menekan penyebaran wabah yang kemudian diterapkan pada masanya hingga saat ini. Kisah diatas memberikan pembelajaran bahwa agama hadir dan berperan penting dalam memberi solusi terhadap problematika yang ada.
Maka dari itu perlu kiranya kita bersinergi bersama pemerintah, tokoh agama dan kawan sejagat agar saling bahu-membahu membebaskan belenggu yang mengungkung kita saat ini. Tetap mementingkan kepentingan kolektif daripada kepentigan individualis. Karena sesuatu yang dikerjakan secara kolektif akan lebih ringan. Apalagi saat ini muncul kepanikan masyarakat terkait vaksinisai yang lakukan pemerintah ditambah berita hoax yang memperkeruh suasana. Disinilah agama kembali berperan menanamkan pentingnya menyaring dan memilah informasi sebelum dikonsumsi.
Wallahu Alam Bishawab