Hingga detik ini, Aku belum mengerti bagaimana cinta bekerja. Sungguh, jika ditanya apa yang paling sulit untuk dipahami, maka dengan lantang akan kukatakan “cinta”.
Bagaimana bisa dua sepasang manusia saling menyerahkan tubuh atas nama cinta. Terjebak dalam kedunguan untuk melukai satu sama lain.
Namun, Aku tak tau persisnya kapan aku mulai merasakannya. Awalnya kupikir Aku sama sekali tak tertarik dengan laki-laki atau apapun segala sesuatu perihal cinta. Yang jelas debar-debar mengejutkan selalu saja menyapa belakangan ini. Rasanya seseorang menyusup berusaha masuk ke dalam isi kepalaku, memorak-porandakan perasaanku tanpa permisi sebelumnya.
Berkali-kali ku pasti kan bahwa ini adalah rasa sewajarnya, rasa sayang sebagaimana mestinya. Yang tak akan bermuara menjadi cinta. Namun Aku salah. Semakin menampik, rasanya tertera semakin jelas.
Yap, Aku jatuh cinta dengan sahabatku sendiri. Jika ditanya apa yang membuatku jatuh cinta terhadapnya. Ada satu alasan pasti, karena Dia adalah dirinya.
Dia berbeda dan tanpa sadar hal demikian yang menjadi daya tariknya tersendiri. Saat laki-laki di luar sana lebih suka bermain sepak bola, maka masak adalah keahliannya. Jika laki-laki diluar sana lebih menonjolkan sisi maskulinnya, maka sekali lagi kukatakan dia unik atas segala sisi feminim yang Ia suguhkan.
Adalah dia yang membuatku jatuh cinta dengan cara termanis dan dengan sosoknya yang sederhana.
Aku suka bagaimana caranya menghargai perempuan. Aku kagum pada sosoknya yang tau bagaimana bersikap sewajarnya terhadap perempuan, termasuk aku. Aku tertarik bagaimana Ia bercerita panjang lebar persoalan pelik perempuan, yang aku saja belum tentu paham. Sementara aku sendiri adalah perempuan.
Aku seolah ingin menjadi rumah satu-satunya untuknya. Tempat Ia berpulang mengistirahatkan lelahnya. Menjadi satu-satunya tempat ternyaman untuk Ia keluarkan gundahnya.Menjadi orang pertama yang mendengar segala cerita suka pun duka tentangnya.
Hingga hari ini, perasaan itu yang kemudian menuntunku mengambil langkah paling berani. Barang tentu sebagai perempuan bukan hal yang etis untuk mengungkapkan perasaan lebih dulu bukan? Tapi, biarkan Aku menyalahi aturan, yang muasalnya saja tidak ku ketahui.
Yap, persetan dengan tanggapan orang lain. Biarkan Aku menutup telingaku untuk kali ini. Mengungkapkan rasaku sebelum Ia melangkah lebih jauh bermutasi menjadi resah.
Aku menghela nafas panjang, dengan segala keberanian Aku mulai mengungkapkan perasaanku, tepatnya di halaman belakang sekolah. Tentu setelah melewati pergolakan yang amat panjang.
“Aku menyukaimu,” lirihku hampir tak terdengar, sembari menundukkan pandangan ku.
Ahk sial betapa menatap matanya Aku tak punya keberanian. Nihil, tak ada jawaban darinya sama sekali.
Sepersekian detik setelah kalimat sakral itu keluar dari kerongkongan ku. Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku menatapnya. Membiarkan mata kami beradu untuk waktu yang lama. Sementara dua bibirnya masih terkatup diam. Kami terjebak dalam situasi canggung, sunyi.
Jika diamnya seorang perempuan pertanda setuju, lantas bagiamana dengan laki-laki. Apakah sebaliknya?
Lama kami terjebak Aku bersuara kembali.
“Apa Aku ditolak?” ucapku kembali, namun lagi dan lagi tak ada jawaban darinya sama sekali.
Wajahnya kikuk tak terbaca. Aku tak bisa menerka kalimat apa yang berusaha Ia keluarkan. Rasanya harga diriku perlahan memudar. Nyaliku ciut, ini kali pertama aku menyatakan perasaanku kepada laki-laki, namun sialnya ekspektasiku memilih berkhianat.
Ia kemudian mengambil beberapa langkah dan kini semilir hembusan nafasnya kurasakan menerpa tepat pada wajahku. Tanpa meminta persetujuanku sebelumnya, Ia membisikkan satu kalimat yang membuat jantungku nyaris melompat dari tempatnya.
Mataku nyaris membelalak sempurna. Selepas Ia pergi meninggalkanku, aku masih berdiri terpaku di tempatku. seolah kakiku sudah ditumbuhi akar. Menancap, merambat, menyusup kedalam tanah, membuatku sulit untuk bergerak.
Bahwa hal yang paling pahit bukanlah penolakan yang Ia berikan padaku hari ini . Namun setelah kata “karena” yang membuat otakku berhenti mencerna kalimat yang berusahan Ia lontarkan dalam sunyi.
………………….
Setelah penolakan kemarin. Baik Aku maupun Kadavi sama-sama memilh menjaga jarak. Kami kembali menjadi dua orang asing, dan hal itu membuatku merasa kehilangannya.
Hingga bagaimana cerita persisnya, kabar buruk berseliweran di luar sana. Bisik-bisik kejadian kemarin menjadi isu hangat dan topik menarik diperbincangkan seseantero sekolah. Bukan karena aku ditolak, namun cerita lebih menelisik alasan Aku ditolak. Yaup karena Kadavi adalah seorang gay.
Aku berusaha tak terlihat panik. Melewati Koridor sekolah menuju kelas, dengan puluhan pasang mata yang mengawasi langkahku, sontak membuatku risih. Aku tak begitu malu dan terbilang santai saja jika semua orang tahu bahwa Aku menembak Kadavi meski berujung penolakan. Namun yang kusesali adalah bagaimana pandangan mereka saat tau Kadavi adalah seorang gay.
Sesampainya di kelas. Suasana tak kalah ramai-riuh. Suara sumbang turut memenuhi ruang kelas. Ada yang mencela Kadavi sebagai mahluk pendosa, ubnormal, bahkan melabelinya sebagai manusia bajingan.
Sementara di sudut Kelas, Kadavi hanya memasang wajah tak peduli sembari membaca buku. Entah karena tak senang melihat Kadavi yang tak ambil pusing dengan celaannya, Dion menghampirinya lantas mencengkram kera seragamnya.
“Wah kau lihat manusia banci ini, Otaknya perlu dikeluarkan dari kepalanya, masih banyak perempuan di luar sana, malah sukanya sama laki-laki, cihh dasar gila ” lantang dion yang disusul gelak tawa seisi kelas.
Aku yang tak suka menyaksikan perlakuan Dion terhadap Kadavi, tanpa aba-aba melemparinya dengan sebuah asbak rokok berbahan dasar kaca. Mendarat sempurna mengenai kepalanya. Darahnya seketika mengalir, perhatian kelas kini beralih ke arahku sepenuhnya.
Aku menatap Kadavi dengan ekspresi wajah yang tak percaya atas apa yang kulakukan, dengan sigap menarik lenganku keluar kelas, menuju halaman belakang sekolah.
“Aku benci Kau diperlakukan seperti itu,” ucapku yang hanya dibalas dengan tatapan tajam olehnya.
“Bukan berarti apa yang Kau lakukan benar bukan?”hardiknya terhadapku.
“Aku tau aku salah, tapi mereka lebih salah Dav, seenaknya melabeli orang lain sebagai pendosa, cihhh,”ujarku dengan penuh pembelaan.
“Tapi apa yang mereka katakan benar Ra,”bentaknya.
” Kau dengar apa yang dikatakan Dion, dia mengatakan mu sebagai manusia kurang normal, hanya karena kau berbeda,” ucapku tersulut emosi.
“Jika Manusia hanya mengukur kenormalan dari kata biasanya, maka dipastikan tak ada orang normal di dunia ini. Mereka melangkahi Tuhan dalam menghakimi Manusia,” timpalku kembali.
” Manusia tak lagi ramah Ra, sedari dulu Aku tak pernah menuntut orang lain untuk menerima keadaanku, Aku tak butuh validasi bahwa apa yang kulakukan adalah hal yang normal,” lirihnya.
Kami kembali diam, terpaku menikmati kedamaian di halaman belakang sekolah. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Ini hari yang cukup berat, baik aku maupun untuk Kadavi. Menerima kenyataan bahwa dia adalah seorang gay, juga turut membuat ku merasa terpukul.
Tapi, apapun itu Aku berusaha menerima. Meski dengan segala keterbatasan yang kumiliki. Adalah memahami bahwa tubuhnya sepenuhnya miliknya.Ia tak harus menjadi orang lain untuk disukai. Pun akan menjadi orang pertama yang membencinya jika Ia berusaha menyeragamkan dirinya, hanya untuk menerima pengakuan.
Bukankah ada banyak hal di dunia ini yang tak bisa diterima oleh akal. Sehebat apapun kita menafikan, semua manusia memang punya sisi uniknya masing-masing. Jika Tuhan mampu menciptakan itu, kenapa malah Manusia sibuk untuk mengusiknya. Menganggapnya salah hanya karena suatu perbedaan.
Sedari dulu, kita terbiasa menormalkan sesuatu dibalik kata “biasanya” . Misalnya saja , karena biasanya Manusia mengupil menggunakan jari tangan, apakah kita bisa melabeli Manusia yang menggunakan jari kaki untuk mengupil adalah sesuatu yang tidak normal? Aneh, cringe, lantas bagaimana sejatinya kenormalan itu?
Apapun itu Aku selalu percaya, bahwa tak ada manusia yang ingin menjadi gay seutuhnya. Tak ada siapapun yang bisa memilih akan terlahir seperti apa bukan?
Kadavi adalah salah satunya, jika diluar sana ada manusia yang masih sok tahu bahwa menjadi gay adalah sesuatu yang dipaksa untuk ada, atau sekelumit alasan dengan menyeret faktor lingkungan, maka Kadavi adalah pengecualian. Dia terlahir dari keluarga utuh dan penuh kasih sayang, pun tak ada trauma dalam sejarah hidupnya.
Aku mengenalnya lebih dari siapapun, kami bertumbuh dan kuharap bisa menua bersama.
Jika masih ada manusia yang sepeti Dion, ringan mulut dalam memberi pelabelan bahwa Kadavi adalah pendosa, maka Aku akan berdiri di baris terdepan untuk membelanya.
Bagaimana bisa Ia menerima penolakan dari manusia keparat lainnya, setelah melewati pergolakan panjang yang rumit, sementara Ia hidup bertumpu di atas kakinya sendiri.
Kau ingin mengukur bagaimana manusia gagal menjadi manusia seutuhnya? Saat dia dengan gamblang dan gampang memberi sekat-sekat dosa kepada manusia lainnya. Bukankah percuma Tuhan ciptakan Malaikat, jika memberi pelabelan dosa sesederhana menghitung jari ditangan. Maha kuasa manusia dengan segala kewarasannya.
“Hmmm lalu apa setelahnya?” Aku bergumam mencairkan suasana yang sedari tadi beku.
“Apalagi selain melanjutkan hidup,” celutuknya menyuguhkan senyumnya.
“Pernahkah Kau menyesali keadaanmu?” Aku bertanya penasaran.
“Hahahah tentu tidak, Aku akan mengizinkan orang lain untuk membenciku, tapi tidak untuk diriku sendiri ,”terangnya.
“Bagaimana Kau akan menanggapi orang lain yang sudah tau keadaanmu?” tanyaku kembali.
“Aku bahagia mereka tahu keadaanku, setidaknya Aku sudah tidak lelah menolak cinta perempuan lain,”ledeknya .
“Ahk sialan,”pekikku yang kemudian disusul gelak tawa olehnya.
Nur Afni Aripin