Bagaimana ilmu rasa memegang peran penting dalam hidup manusia? Sebelum membahas itu, kita review kembali mengenai mitos itu. Jadi, mitos tidak dapat dipahami secara rasio semata karena tidak punya dasar ilmiah. Hal itu karena mitos diyakini melalui kisah-kisah yang ada. Mitologi itu sendiri dapat kita temui sebagai dongeng, kisah, maupun sastra. Dalam sastra selalu meminjam karakter agar lebih hidup. Yang secara tak sadar mengajarkan manusia membangun karakternya.
Ada beberapa hal yang menjadi bagian dari manusia yaitu, jiwa (yang ada di pikiran), spritual (yang ada di hati), dan psikis. Masing-masing memiliki peran tersendiri, yang menentukan bagaimana manusia itu. Cara kerja rasio yaitu selalu menempatkan sesuatu selain dari dirinya sebagai objek, begitupun dalam mendefinisikan sesuatu. Efek dari rasio semata, selalu merasa paling tahu. Sehingga, tidak ada lagi toleransi untuk memahami selain dirinya. Tentu saja hal itu menyebabkan beberapa hal tak dapat ditangani, seperti halnya virus. Maka virus tidak boleh hanya diselesaikan dengan pendekatan rasio saja. Hal itu berlaku juga untuk alam. Dimana manusia tidak dapat mengendalikan alam dengan rasionya semata. Karena cara pandang rasional selalu membedakan seseorang atau makhluk di luar dirinya. Itu tentu saja akan menimbulkan sekat antara manusia, alam, dan makhluk lainnya.
Segala sesuatu selalu ingin diselesaikan menggunakan rasio, melihat sesuatu dari kacamata materi itulah rasiosentrik. Jika kita mulai menggunakan rasa, kita akan melihat alam adalah saudara kembar kita. Sebagian diri ada pada alam karena kita mengonsumsinya. Kalau kita memahaminya dengan rasa, maka kita tidak akan lagi melihatnya sebagai objek tapi sebagai subjek. Dalam artian, alam juga melakukan proses kehidupan seperti yang manusia lakukan misalnya respirasi. Alam mengalami respirasi atau metabolisme, hal itu bisa kita lihat misalnya dari aktivitas gunung berapi. Makanya, dengan alam pun perlu tata krama.
Mukjizat tidak bisa dipahami dengan rasio melainkan menggunakan rasa. Ilmu rasa bukan untuk melihat kesaktian, tetapi untuk memahami atau melihat sesuatu secara utuh. Dimana rasa ingin tahu itu juga bagian dari ilmu rasa. Dalam agama itu sendiri, rasa disebut sebagai keyakinan. Memahaminya dengan cara memahami diri sendiri terlebih dulu. Tentu memahami diri dengan menggunakan pikiran justru membuat tidak dapat memahami diri, karena dimensi manusia begitu kompleks sehingga tidak bisa dilihat dengan satu sudut pandang. Sama halnya rasa itu tidak akan ada jika pikiran masih dominan. Karena ilmu rasa diasah dengan pengalaman langsung.
Cara mengelola hidup jadi timpang dan semakin gampang dipengaruhi karena semata-mata menggunakan rasional. Orang-orang terdahulu mengabdikan dirinya untuk ilmu. Sehingga tingkah lakunya murni untuk mencapai kebermanfaatan bukan karena tujuan-tujuan materi. Seperti sikap gotong royong yang tidak lagi bicara untung rugi. Namun sekarang, orang-orang semakin ke belakang semakin materialistik. Bukan hanya itu, orang dulu tidak banyak berteori. Melakukan sesuatu selalu bersumber dari pengalaman langsung. Dalam masyarakat juga dikenal pamali yaitu tata krama hidup atau adab. Kalau secara rasio, mungkin pamali akan terkesan mengada-ada tapi dengan ilmu rasa hal itu bisa saja benar. Pamali tidak boleh disalahkan, karena bisa jadi yang salah adalah cara berpikirnya. Hal itu yang terjadi sekarang, beberapa hal ingin diselesaikan dengan teori, padahal itu tidak cukup. Seringkali kita diajarkan rasional tapi kehidupan justru tidak menggambarkan hal itu rasional. Tidak mau tahu secara detail dan hanya memahami fenomena yang nampak. Apalagi menganggap ilmu sebagai performance bukan sebagai adab atau tata krama adalah letak kesalahannya.
Contoh produk dari rasio yaitu Fiqih, yang lahir dari akal. Sehingga, orang yang fiqih autentik akan gampang menyalahkan orang lain. Karena seperti itulah rasio. Berbeda dengan sufi yang menggunakan rasa. Ia tidak akan gampang menjudge orang bahkan pada seorang pelacur sekalipun. Sama halnya dengan tasawuf, Ihsan (perbuatan baik) menggunakan ilmu rasa. Pola hidup masyarakat yang kompetitif membuat rasio bekerja maksimal sehingga membuat kita tidak punya ruang refleksi. Yang sebenarnya dapat ditangani dengan memunculkan rasa. Bukti lain bahwa manusia memiliki beberapa dimensi yaitu adanya efek ketidak tenangan dari dosa yang dilakukan. Hal itu muncul karena manusia punya dimensi rohani dalam dirinya, sekaligus menunjukkan bahwa spritual lebih berpengaruh dibandingkan rasional.
Banyak misteri di dunia ini yang tidak dapat dipecahkan dengan rasio saja. Begitupun penyakit, tidak semua dapat disembuhkan oleh dokter. Salah satu pendekatan yang dapat kita lakukan yaitu dengan rasa apalagi pada ilmu yang hakikatnya hadir melalui hati. Dengan ilmu rasa, banyak yang dapat kita pahami. Ilmu rasa tidak bicara teori saja, tapi pengamalannya.